Sejak  kuliah, radio merupakan salah satu teman yang selalu menemani saya  ketika sedang mengerjakan tugas, belajar, maupun santai. Tidak pernah  bosan rasanya mendengarkan acara-acara yang disajikan oleh berbagai  macam stasiun radio.
Suatu malam, di sebuah stasiun radio,  sedang berlangsung acara dimana orang-orang berbagi pengalaman hidup  mereka.  Perhatian saya yang semula tercurah pada tugas statistik  beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya. Wanita ini  adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal di  pinggiran kota Jakarta. Sejak kecil ia sering dimarahi oleh ayahnya.  Di  mata sang ayah, tak satupun yang dikerjakan olehnya benar.  Setiap hari  ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan  keinginan ayahnya, namun tetap saja ayahnya tidak mengatakan itu baik.
Pada  waktu ia berumur 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar  dari mulut ayahnya.  Hal ini membuat wanita itu semakin membenci  ayahnya.  Sosok ayah yang melekat dalam dirinya adalah sosok yang  pemarah dan tidak memperhatikan dirinya.
Akhirnya ia  memberontak dan tak pernah satu hari pun ia lewati tanpa bertengkar  dengan ayahnya. Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah  wanita itu meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah ia  ceritakan kepada siapapun kecuali pada istrinya. Walaupun merasa sedih  dan kehilangan, namun di dalam diri wanita itu masih tersimpan rasa  benci terhadap ayahnya.
Suatu hari ketika membantu ibunya  membereskan barang-barang peninggalan almarhum, ia menemukan sebuah  bingkisan yang dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis “Untuk  Anakku Tersayang”.
Dengan hati-hati diambilnya bingkisan  tersebut dan mulai membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan  dan sebuah buku yang telah lama ia idam-idamkan. Di samping kedua benda  itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna  kesukaannya. Perlahan ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca  tulisan yang ada di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan  tangan ayahnya, sebelum ia meninggal:
“Ya Tuhan, Terima  kasih karena Engkau mempercayai diriku yang rendah ini untuk memperoleh  karunia terbesar dalam hidupku. Kumohon Ya Tuhan, jadikan buah kasih  hamba-Mu ini orang yang berarti bagi sesamanya dan bagi-Mu. Jangan hanya  Kau berikan jalan yang lurus dan luas membentang. Berikan pula jalan  yang penuh liku dan duri, agar ia dapat meresapi kehidupan dengan  seutuhnya. Sekali lagi kumohon Ya Tuhan, sertailah anakku dalam setiap  langkah yang ia tempuh. Jadikan ia sesuai dengan kehendak-Mu. Selamat  ulang tahun anakku. Doa ayah selalu menyertaimu”
Meledaklah  tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat dalam kartu  tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Dalam  pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang bingkisan dan tulisan yang  terdapat dalam kartu ulang tahunnya. Ibu wanita itu akhirnya  menceritakan bahwa ayahnya memang sengaja merahasiakan penyakitnya dan  mendidik anaknya dengan keras agar sang anak menjadi wanita yang kuat,  tegar dan tidak terlalu kehilangan sosok ayahnya, ketika ajal menjemput  akibat penyakit yang ia derita.
Pada akhir acara, wanita  itu mengingatkan para pemirsa agar tidak selalu melihat apa yang kita  lihat dengan kedua mata kita.  Lihatlah juga segala sesuatu dengan mata  hati kita.  Apa yang kita lihat dengan kedua mata kita terkadang tidak  sepenuhnya seperti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kasih  seorang ayah, seorang ibu, saudara-saudara, orang-orang di sekitar kita,  dan terutama kasih Tuhan dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara.  Sekarang tinggal bagaimana kita menerima, menyerap, mengartikan dan  membalas kasih sayang itu. Sering juga bahwa suatu perbuatan baik dan  cara mengasihi baru kita sadari beberapa waktu kemudian”, kata wanita  tersebut menutup acara pada malam hari itu. 
