KAYA TAPI MISKIN
 
“Karena dimana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”
Matius 6:21
Thierry de la Villehuchet  tergolong sebagai golongan kelas atas di Perancis. Lahir dari sebuah  keluarga ningrat yang kaya, Villehuchet kemudian meniti karirnya di  bidang investasi, menjadi sebuah manajer investasi yang terkenal di  dunia. Ia mendirikan Access International Advisor atau AIA, yang  memiliki total investasi senilai 3 milyar dollar AS. Ia adalah anggota  dari New York Yacht Club dan Larchmont Yacht Club yang eksklusif, dan  berkantor di sebuah gedung pencakar langit di Madison Avenue, kawasan  elit New York.
Adolf Merckle,  adalah seorang figur kaya lain dari Jerman. Ia termasuk orang terkaya  ke-44 di dunia, dan masuk 10 besar dalam orang terkaya di Jerman. Ia  adalah pemilik produsen obat generik terkenal Ratiopharm, dan seorang  pemegang saham dari Heidelberg Cement. Pada akhir tahun 2007, asetnya  mencapai 12.8 milyar dollar AS.
Dari Amerika, ada Steven Good,  pemilik Sheldon Good & Co., sebuah perusahaan properti di kota  Chicago yang sukses. Perusahaan yang didirikan ayahnya 40 tahun lalu ini  sempat memiliki nilai transaksi senilai 9.2 milyar dollar AS. Tak heran  jika sebuah sedan mewah Jaguar bertengger di dalam garasi Steven Good.
Namun, tiba-tiba, gambaran kesuksesan ini berubah drastis ketika badai krisis ekonomi menerpa dunia.
- Thierry de la Villehuchet didapati meninggal dunia di kantornya di Madison Avenue yang serba mewah karena bunuh diri. Ia menyayat urat nadi lengan kirinya dan menenggak obat tidur dengan dosis mematikan.
- Adolf Merckle, juga melakukan bunuh diri, dengan menabrakkan diri pada kereta yang melaju kencang di kota kelahirannya, Blaubeuren, Jerman.
- Steven Good menembak dirinya sendiri di dalam Jaguar merahnya, sesudah menulis pesan kematiannya.
Apa  yang terjadi dengan orang-orang ini? Bukankah mereka termasuk golongan  yang kaya dan berada? Bukankah mereka selalu bergelimang kemewahan,  hidup bergaya jet set, dan, seharusnya, berbahagia? Lalu mengapa mereka  mereka sampai melakukan bunuh diri?
Belajar  dari pengusaha Indonesia  Bob Sadino, ia adalah pemilik gerai Kem  Chicks dan cukup berada, tapi beliau memulai hidupnya dalam kesusahan,  bahkan sempat menjadi kuli bangunan. Dalam wawancara ketika ditanya,  apakah sukses Oom Bob yang terbesar? Jawabannya sangat mengejutkan:  ”Sukses yang luar biasa buat saya adalah dulu, ketika melarat, dan tidak  punya uang, tapi bisa mendapatkan sepiring nasi untuk makan! Itulah  sukses yang betul-betul saya rasakan. Sesudah menjadi kaya, semuanya  justru terasa biasa saja, proses saja. Tapi, sepiring nasi itulah sukses  saya yang terbesar!”
Melalui  pandangan Oom Bob, yang pernah menjadi miskin dan kaya, kita bisa  sedikit memahami, mengapa Tuhan Yesus sangat menghargai orang miskin.  Dalam khotbah Sabda Bahagia ia berkata “Berbahagialah orang yang miskin  di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat  5:3). Orang yang miskin, yang tidak memiliki banyak harta, sangat  menghargai sebuah anugrah, sekecil apapun. Sementara orang kaya, karena  begitu keranjingan mengumpulkan harta, cenderung ingin memiliki harta  sebanyak-banyaknya, bahkan sampai tujuh turunan!
Nah,  apa yang terjadi jika harta itu diambil daripadanya? Nah, inilah resiko  besar yang tidak pernah dikhawatirkan oleh si miskin! Secuil saja dari  hartanya lenyap, maka orang bisa kalap, mengamuk, bahkan bunuh diri.  Perlu diingat, bahwa ketiga orang yang melakukan bunuh diri tadi  kekayaannya memang berkurang dengan cukup drastis, tapi mereka masih  jauh dari miskin. Masing-masing masih memiliki jutaan dolar AS, bahkan  Adolf Merckle masih termasuk dalam salah satu orang terkaya di Jerman.  Tapi, kehilangan sedikit harta itu begitu mengerikannya, sampai-sampai  mereka rela menghabisi nyawanya sendiri!
Aplikasi:
Harus dibangun suatu keseimbangan yang harmoni antara iman dan harta  kita. Jika kita termasuk dalam golongan orang yang kaya, bersyukurlah,  namun juga waspada. Karena, sebagai orang kaya, mental kitapun  seringkali menjadi mental ’orang kaya’: merasa berkuasa, merasa bisa  melakukan segala sesuatu, merasa paling penting, selalu harus  didahulukan, dan paling suci karena banyak menyumbang gereja. Hal ini  yang ditunjukkan oleh seseorang yang menghadap Yesus (Mat 19:16-26).  Orang ini berkata bahwa ia sudah melakukan ajaran Taurat, sudah  menyumbang, sudah berbuat baik, sudah mengikuti semua ajaran agama.  Singkatnya: sudah suci, sempurna! Maka, Iapun pergi kepada Yesus dan  berkata: ”Guru, perbuatan baik apakah yang harus kulakukan agar  memperoleh hidup kekal?” (Mat 19:16).
Tapi,  Tuhan Yesus bukan pemimpin jemaat yang akan memuja-muja si kaya karena  takut sumbangannya digereja akan berkurang. Ia dapat membaca niat orang  itu, dan memberikan tantangan yang biasa: ”Jikalau engkau hendak  sempurna, pergillah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada  orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di Sorga, kemudian  datanglah kemari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). Memang, ia pernah  menyumbang untuk orang miskin, tapi memberikan SEMUA hartanya adalah hal  yang tak terbayangkan! Inilah sifat ’orang kaya’: bisa jadi ia rela  memberi secuil atau sebagian, tapi tidak semua! Orang inipun mundur  teratur, tidak jadi mengikut Yesus (Mat 19:22).
Apabila  kita tergolong orang yang berkecukupan, maka kita memiliki tantangan  yang lebih besar daripada orang miskin, yakni menjaga keseimbangan yang  selaras antara harta dan iman kita. Bukan berarti orang Kristen tidak  boleh kaya, tetapi sebagai orang Kristen kekayaan mengandung tanggung  jawab lebih yang harus dipikul. Salah satu cara untuk menjaga  keseimbangan ini adalah dengan melakukan kontak dengan golongan lain  yang kurang beruntung, bukan hanya dengan memberi uang, tetapi ikut  terlibat aktif. Misalnya, menjadi relawan untuk kaum miskin kota,  berkunjung ke panti asuhan, atau berjalan-jalan ke daerah minus. Dengan  menyaksikan, hidup bersama, dan berinteraksi dengan orang yang kurang  beruntung ini, kita akan mendapat pencerahan untuk bersyukur akan  kondisi kita, namun juga tidak lupa akan dari mana kita berasal. Dengan  demikian, kita akan terhindar dari ’mental orang kaya’ yang membuat  pintu masuk Sorga menjadi sekecil lubang jarum

