MEMULIHKAN WAJAH KEHIDUPAN

Film yang memenangkan hadiah Oscar tahun 2008 adalah “The Counterfeiters” dengan sutradara Stefan Ruzowitzky. Film ini diangkat dari satu diary dari seorang Yahudi yang bernama Adolf Burger di mana dia terlibat di dalam satu operasi penting yang bernama “Operation Bernard.” Adolf Burger bersama satu orang Yahudi lain adalah orang yang ahli memalsukan uang dan mencetak uang palsu. Sebenarnya dua orang ini hendak dibunuh di camp konsentrasi di Auschwitz tetapi tidak jadi sebab mereka memberitahu keahlian khusus mereka.
Karena itu Nazi menempatkan mereka ke dalam satu perusahaan rahasia untuk mencetak uang palsu. Operation Bernard adalah satu operasi yang berencana untuk membawa uang palsu ke Inggris dan melemparkannya dari udara. Tujuannya cuma satu, kalau mata uang palsu itu berhasil bercampur dengan uang asli, maka tidak akan ada transaksi bisnis dan ekonomi akan lumpuh sehingga seluruh perekonomian Inggris akan collapse. Hitler tahu untuk mengalahkan Inggris tidak harus dengan senjata tetapi dengan kehancuran ekonomi. Untunglah operasi Bernard tersebut dapat dicegah, sehingga uang palsu yang dicetak Hitler tidak sampai menghancurkan perekonomian negara Inggris. Sama seperti uang rupiah akan hancur nilainya saat diedarkan uang rupiah yang palsu dengan akibat rusaknya kehidupan rakyat Indonesia dalam berbagai dimensi. Dengan demikian film Counterfeiter mau menyampaikan pesan bahwa betapa berbahayanya suatu kepalsuan yang begitu sempurna jika beredar dalam kehidupan manusia. Wajah kehidupan akan rusak total dan mengalami kehancuran ketika yang palsu berhasil menggeser apa yang asli dan benar. Tepatnya kepalsuan selalu merusak wajah kehidupan.
Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering berada dalam pencampuran antara yang asli dengan palsu. Gandum dan ilalang yang telah bercampur sedemikian rupa, sehingga kita seringkali mengalami kesulitan untuk membedakan antara akal licik dan pandai. Kita juga mengalami kesulitan untuk membedakan antara kesalehan dan kemunafikan, antara kawan dengan lawan, antara kasih dan sikap cinta-diri, antara pelayanan dan ambisi, antara kerelaan berkorban dengan sikap masokhisme (gemar menyakiti diri sendiri). Tidak mengherankan jikalau wajah kehidupan kita dipenuhi dengan perasaan curiga, was-was, dan berbagai pikiran negatif terhadap sesama di sekitar kita. Selain itu di dalam diri kita juga tidak bebas dari percampuran antara yang asli dan yang palsu. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa kita bebas dari kepalsuan, kepura-puraan dan sikap munafik? Percampuran nilai Kerajaan Allah dengan dunia terlihat dalam berbagai kasus, sehingga menyebabkan umat Kristen pernah melakukan hal-hal yang kejam dan mengerikan. Sebagaimana
kita ketahui bom di Hiroshima dijatuhkan pada tanggal 6 Agustus 1945. Yang mana tanggal 6 Agustus 1945 saat itu umat Kristen di mana Amerika selaku pengebom sedang merayakan hari Transfigurasi, yaitu Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung (saat itu belum mengikuti leksionari yang ekumenis). Umat Kristen yang direpresentasikan oleh pemerintah Amerika Serikat telah menodai kekudusan Minggu Transfigurasi Tuhan Yesus dengan kematian sebanyak 160 ribu orang Hiroshima. Tahukah saudara, bagaimana pernyataan presiden Truman setelah peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki? Dia berkata: “Syukur kepada Tuhan karena kita memiliki bom itu … dan kita berdoa agar Dia membimbing kita dalam menggunakan bom itu sesuai dengan cara-cara yang Ia kehendaki dan sesuai dengan tujuanNya”. Bukankah kita juga sering menggunakan nama Tuhan, nama pelayanan gerejawi dan firman Tuhan untuk mendukung argumen, tujuan dan kepentingan kita tertentu? Wajah spiritualitas dalam kehidupan kita sering tidak terlepas dari sikap yang manipulatif. Dengan perkataan lain, sikap memanipulasi iman dan nama Allah telah merusak wajah kehidupan.