TABUKAH SEKS?
 Kadang  ada orang Kristen bertanya, “Bolehkah kita membahas masalah seksualitas  secara gamblang?  Bukankah seks itu sesuatu yang kotor yang menyebabkan  banyak orang jatuh dalam dosa?  Karenanya pembicaraan tentang masalah  seks sebaiknya dihindari bahkan seks itu sendiri harus dijauhi dalam  kehidupan seorang Kristen yang rohani. Mari kita lihat dua pandangan  yang tidak tepat tentang masalah seksualitas.
PANDANGAN KELIRU TENTANG SEKS
1. Seks dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan kotor
Pandangan  ini melihat seks sebagai dosa yang jelek, yang harus dihindari dan  dijauhi.  Jadi, makin kita menjauhinya, dengan jalan hidup tanpa seks  dan tidak menikah, makin sucilah kita.  Pendapat itu berasal dari  gagasan kuno Yunani yang menyatakan bahwa pada dasarnya tubuh manusia  jahat, dan cara untuk benar-benar menjadi “suci” ialah dengan berusaha  sedapat mungkin menaklukkan dan menahan nafsu. Menurut Thomas Aquinas,  perkawinan memang bukan dosa, tetapi sesuatu yang rendah.  Hubungan  seksuil dengan wanita menyebabkan orang tidak dapat berbuat baik dengan  sempurna. 
Ada pula yang menganggap bahwa tujuan seks  adalah untuk melangsungkan keturunan saja; karena itu seks dapat  ditolerir.  Seks menjadi sesuatu yang sebetulnya tidak baik tetapi  karena perlu untuk menyambung keturunan, harus dilakukan dan bukan untuk  dinikmati.  Di abad-abad pertengahan, menikmati seks dianggap berdosa  oleh gereja. Seks adalah sesuatu yang buruk tetapi perlu dilakukan.   Menurut Agustinus, tujuan perkawinan ialah untuk memperoleh anak.   Karena itu hubungan seksual yang tidak mempunyai maksud ini, adalah  dosa. 
Pandangan  negatif tentang seks ini masih nampak dalam kecenderungan banyak  orangtua dan gereja yang membahas seks dalam konteks dosa, bukan dalam  konteks sebagai ciptaan Allah yang baik.  Bahaya seks yang  disalahgunakan lebih diperhatikan dari pada kebahagiaan seks yang  dilakukan sesuai dengan rencana Tuhan.  Hingga kini masih ada orangtua  yang menakut-nakuti dan mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa seks  adalah jahat, alat-alat seks adalah sesuatu yang jijik dan kita harus  malu, menyembunyikan dan tidak membicarakannya.  Ada ibu-ibu yang  mengajarkan bahwa seks, melahirkan anak dan membesarkan anak adalah  “salib” yang harus dipikul wanita, suatu celaka, tetapi harus dijalani.   Lebih dari pada itu mentruasi – yang didesain oleh Allah yang Maha  Kudus – dianggap sebagai kutuk bagi wanita.
2.   Seks dianggap dorongan jasmani saja yang harus dipuaskan
Pandangan  kedua menganggap seks sebagai dorongan jasmani seperti haus dan lapar.  Kalau haus, minum.  Kalau lapar, makan. Kalau mempunyai nafsu berahi,  bersetubuh.  Tidak menjadi soal gelas mana yang dipakai untuk minum atau  partner mana yang digunakan untuk memuaskan nafsu berahi. Menurut  pandangan ini nafsu seks jangan ditekan melainkan supaya dapat berfungsi  dengan bebas karena ini sangat penting untuk kesehatan mental dan  emosi.  Bila nafsu berahi ditekan, maka akan terjadi gangguan dalam  perkembangan seksualitas.  Jadi puncak kenikmatan seksual saat orgasme  sebaiknya dialami oleh manusia sesering mungkin.
Pandangan  bahwa seks merupakan dorongan jasmani saja sangat bertentangan dengan  pandangan Alkitab bahwa seks menyangkut tubuh maupun jiwa kita.  Berbeda  dengan binatang, bagi manusia perbuatan seks mempengaruhi seluruh diri  kita.  Persetubuhan memersatukan dua orang bukan dalam tubuh saja tetapi  juga dalam jiwa.  Alkitab memakai kata “mengenal” untuk kata  bersetubuh.  Dalam persetubuhan dua orang saling mengenal.  Yang dikenal  bukan tubuh partnernya saja, tetapi juga jiwanya.  Walter Trobish  menyatakan, “Hubungan kelamin bukan hanya bersifat jasmaniah dan  anatomis, tapi juga bersifat kejiwaan.  Dengan kata lain, hakekatnya  yang terpenting lebih erat berhubungan dengan pikiran dan perasaan dari  sang “suami-istri” dari pada dengan alat-alat kelaminnya.  Persetubuhan  adalah perpaduan yang mesra antara keseluruhan pribadi kedua belah  pihak.  Itulah perpaduan sepenuhnya dari tubuh, jiwa dan roh.”
PANDANGAN ALKITAB TENTANG SEKS
Alkitab  mencatat bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia itu sebagai laki-laki  dan perempuan (Kej. 1:27), berarti manusia diciptakan sebagai makhluk  seksual.  Seks mula-mula ada dalam pikiran Allah.  Ia yang memikirkan  seks dan menciptakannya sebagai bagian dari rencana-Nya yang agung.   Seksualitas direncanakan dan diciptakan Allah, bukan terjadi secara  kebetulan atau sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. 
Alkitab  mengajarkan bahwa pada dasarnya seks itu baik dan suci karena  diciptakan oleh Allah yang baik dan suci pula.  Sesudah menciptakan  manusia, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya [termasuk kelamin manusia]  sungguh amat baik” (Kejadian 1:31).  Hanya Iblis membelokkan manusia  dari tujuannya, menjadikan yang sungguh amat baik itu menjadi jelek,  melalui penyalahgunaannya.
Alkitab juga mencatat bahwa  perkawinan dan hubungan seks merupakan perintah Allah (Kej. 1:28, Ef.  5:31-32).  Manusia yang mula-mula menanggapi hubungan seks antara dua  orang yang dijodohkan Allah secara positip dengan penuh syukur (Kej.  4:1).  Persetubuhan merupakan bagian integral dalam rencana ciptaan  Allah untuk manusia.  Allah sendiri yang mempersatukan Adam dan Hawa  sehingga keduanya menjadi “satu daging” maksudnya menjadi satu kesatuan  yang baru, yang tidak dapat dipisahkan kembali (Kej. 2:24, Mat. 19:6).
Hubungan  seksual menurut rencana Allah sangat wajar dan indah.  Seks bukanlah  hal yang tabu, tidak pantas, memalukan dan kotor.  Sejak semula Allah  tidak pernah menganggapnya demikian.  Alkitab menyatakan bahwa Adam dan  Hawa tidak merasa malu sungguh pun mereka itu telanjang (Kej. 2:25).   Seks hanya dapat dipuaskan dalam persetubuhan.  Perbuatan ini hanya  dibenarkan di dalam pernikahan untuk menguatkan persatuan dan hubungan  yang erat di antara suami dan istri.  Allah telah memberikan hukum moral  tertentu bukannya untuk menghalang-halangi kesenangan manusia tetapi  untuk menguatkan kesucian pernikahan dan kehidupan keluarga.
Alkitab  menjelaskan bahwa Allah pun memberkati hasil hubungan seks yang sah.   Anak-anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan adalah anugerah  Allah bagi keluarga tersebut (Mzm. 127:3-5; Amsal 17:6).  Jadi Alkitab  memandang seks sebagai karunia Allah yang diberikan kepada manusia.   Karena itu seks perlu diterima dengan syukur, bukan dengan rasa takut  atau malu, bila dilakukan dalam konteks yang tepat yaitu dalam  pernikahan!***
Oleh Rubin Adi Abraham