ORANG KRISTEN DAN PENDERITAAN
oleh: Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.
 
Eksposisi Mazmur 73
  
Hari-hari  ini, banyak orang Kristen bukan saja  di Indonesia tetapi juga di luar  negeri mengalami kesulitan khususnya  akibat bencana alam, terorisme dan  krisis ekonomi. Pergumulan di negara  Indonesia, banyak jemaat yang  mengeluh dengan mahalnya harga komoditi  akibat perubahan iklim  sementara penghasilan tidak bertambah. Di tengah  krisis demikian,  pergumulan kita menjadi tidak gampang. Bagaimanakah  seharusnya orang  Kristen menghadapi pergumulan?
 
           Di dalam Alkitab, ada tiga tokoh besar yang bergumul dengan   penderitaan yakni Ayub, Pemazmur 73 dan Habakuk. Dalam ketiga orang ini,   mempunyai kemiripan pergumulan sekalipun modelnya bervariasi tetapi   yang pasti jawaban pergumulan, perubahan dan komitmennya sama. Inilah   yang kita mau belajar, khususnya dari Mazmur 73.
Bagian  pertama, dari pergumulan si  Pemazmur, ia akhirnya menjadi berkat bagi  orang lain. Inilah paling  tidak satu dari sekian banyak maksud Tuhan  dalam penderitaan supaya  setelah kita mendapatkan jawaban, kita  menguatkan orang lain. Dalam ayat  1, si Pemazmur mengatakan  “sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang  tulus hatinya, bagi  mereka yang bersih hatinya”. Di sini, menandakan  bahwa ia telah selesai  bergumul dan menang karena dalam penderitaan itu,  ia tidak menghujat  Allah dan mengatai Allah itu buruk atau jahat  melainkan mengakui Allah  itu baik. Selain Mazmur 73, memang inilah ciri  khas seluruh kitab  Mazmur. Sebagaimana dikatakan John Calvin, inilah  kitab yang membuka  anatomi jiwa, membuka anatomi perasaan manusia. Kitab  yang sangat  jujur. 
Ada  satu ciri khas yang  diungkapkan oleh Martin Llyod-Jones yakni Mazmur  seringkali dimulai oleh  kesimpulan dari pergumulan. Seperti Mazmur 23,  seluruh kredo pergumulan  Daud disimpulkan, “Tuhan adalah gembalaku, tak  akan kekurangan aku”.  Demikian pula di sini, ia ingin memberikan  kesimpulan kepada orang  percaya yang membaca refleksinya, Allah itu  baik, bagi mereka yang  sungguh-sungguh mengikuti Tuhan.
Selain  kesimpulan, ayat 1 juga  merupakan undangan. Pemazmur seolah ingin  berkata, “jika saudara adalah  orang percaya yang sungguh bersih dan  tulus hatimu, dan engkau  menderita, Mazmur ini untuk saudara. Sebuah  mazmur tentang kebaikan Allah. Sekalipun saudara  menderita, Allah itu  baik”. 
Bagian  kedua, dalam Mazmur ini  kita belajar bahwa orang percaya pun bukan  saja bisa bergumul tetapi  bahkan penuh dengan pergumulan. Tidak usah  kita heran akan hal ini,  karena bukan rancangan kita melainkan  rancangan Tuhan yang terjadi.  Kadang kita berpikir bahwa seharusnya  jalannya akan begini dan begitu  tetapi Tuhan mempunyai cara pikir yang  berbeda. 
Bergumul  bukan dosa. Tuhan Yesus  sendiri bergumul, bahkan bergumul dalam  pencobaan. Dicobai bukan dosa.  Jatuh dalam pencobaan barulah dosa.  Memakai terminologi Paulus, “habis  akal” bukan dosa. Putus asa barulah  sesuatu yang tidak benar (2 Kor.  4:8b). Jika saudara dalam bisnis,  keluarga, pendidikan mengalami habis  akal, itu bukan dosa. Jangan  takut. Tetapi yang harus saudara lakukan  adalah tetap berpengharapan,  jangan putus asa. 
Saya  mencatat, sejumlah pergumulan  si Pemazmur. Pertama, bergumul untuk  mempertahankan hati yang bersih  (ayat 13). Pergumulan ini tidak gampang  karena di setiap detik dan  setiap inci kehidupan, godaan untuk  membengkokkan hati begitu banyak dan  kuat, baik dari kedagingan dalam  diri, dunia, setan, dan sebagainya.  Kedua, bergumul untuk setia dalam  kesulitan (ayat 14). Mempertahankan  hati yang bersih satu hal tetapi  mempertahankan hati yang bersih dalam  penderitaan adalah hal lain.  Jikalau kita mengatakan “orang ini setia  tapi hidupnya susah” maka  konotasinya negatif. Tetapi jika kita  mengatakan, “orang ini hidupnya  susah tetapi ia setia” maka konotasinya  lebih positif. Dan kalimat  pertamalah yang muncul ketika Lukas  menggambarkan Zakaria dan  Elizabeth, orang tua Yohanes Pembaptis. Mereka  setia tetapi mandul,  tidak punya anak. Dalam pergumulan demikian,  seringkali ada  perbandingan dari dalam diri dan dari orang lain antara  setia dan  sulit. Kedua kata itu seperti bertentangan, seperti air dan  minyak,  sulit bertemu. 
Pergumulan  Pemazmur ketiga,  bergumul dengan kecemburuan ketika melihat orang faik  yang maju (ayat  3). Susah untuk menerima bahwa mereka yang tidak  setia, hidupnya lebih  lancar. Ada beberapa gambaran obyektif yang  dicatat oleh Pemazmur. Dalam  ayat 4a dikatakan kesakitan tidak ada  mereka. Dalam bahasa asli, adalah  kesakitan maut. Maksudnya, si  Pemazmur melihat bahwa ada orang jahat  yang sampai matinya tidak  mengalami penyakit. Mati tua bukan mati sakit  atau mati celaka. 
Dalam  ayat 4b dikatakan sehat dan  gemuk tubuh mereka. Tidak semua yang sehat  dan gemuk itu fasik tetapi  orang fasik biasanya sehat-sehat. Bagiamana  kalau pencuri atau perampok  tetapi menderita penyakit stroke. Sulit  dinalar. Sebaliknya, banyak  orang yang setia dalam Alkitab, hidup  mereka sakit-sakitan seperti  Paulus, Calvin, dan sebagainya. Dalam ayat  5a dikatakan mereka tidak  mengalami kesusahan manusia. Kasarnya, semua  orang mengalami harga tempe  dan terigu yang melambung tinggi, mereka  tidak mengalaminya. 
Ayat  8b dikatakan bahwa hal  pemerasan mereka bicarakan dengan tinggi hati.  Maksudnya, sudah dosa  masih dibanggakan lagi. Ayat 12b dikatakan  “mereka menambah harta benda  dan senang selamanya”. Barangkali inilah  gambaran yang paling  menyakitkan. Orang jahat, penipu, yang bisnisnya  kotor, semakin hari  harta bendanya bertambah-tambah dan senang  seterusnya. Sebaliknya, orang  yang setia, ikut Tuhan, beriman,  bisnisnya jujur, hidup bersih, malah  harta benda semakin berkurang  karena uang habis, tabungan habis, emas  dijual, mobil dijual ganti  sepeda motor, rumah yang besar dijual ganti  yang kecil. Malah susah  seterusnya. 
Pergumulan  Pemazmur yang keempat,  bergumul mengalami cercaan dari orang fasik  (ayat 3a, 8a, 9). Setia itu  sulit. Setia dalam kesulitan lebih sulit.  Setia dalam kesulitan dengan  kecemburuan, tambah sulit. Sekarang, malah  harus dengar caci maki.  “Katanya ikut Tuhan, kok hidup susah”,  “katanya anak Raja, kok  ngontrak”, “katanya Allahnya yang empunya alam  semesta, kok rumah saja  tidak punya” dan seterusnya yang sangat  menyakitkan dari orang fasik.
Pergumulan  yang paling sulit dari  semuanya adalah di dalam penderitaan orang  setia, si Pemazmur melihat  Tuhan diam dan tidak memberikan jawaban.  Setidaknya kalau ia tidak  mengasihi orang percaya, paling tidak  mengadili orang fasik. Malah yang  terlihat adalah Tuhan mengasihi orang  fasik dan menghukum orang percaya,  menulahi yang hatinya bersih (ayat  14). 
Bagian  ketiga, setelah pergumulan  ini kita sekarang melihat jawaban yang  diterima Pemazmur. Langkah  pertama menuju jawaban adalah si Pemazmur  menguasai diri. Seperti yang  dinyatakan dalam 1 Petrus 4:7, kuasailah  diri, jadilah tenang supaya  kamu dapat berdoa. Menguasai diri memang  tidak menyelesaikan persoalan  apapun tetapi setidaknya tidak menambah  persoalan baru supaya tidak  terjadi sudah jatuh, tertimpa tangga. 
Menguasai  diri berarti si Pemazmur  tenang, tidak emosional dan sebaliknya  berpikir. Istilah “seandainya”  dalam ayat 15 menandakan bahwa si  Pemazmur sedang berpikir. Prinsipnya,  jangan ambil keputusan penting  apapun pada waktu emosi. Jangan ambil  keputusan putus pacar, pindah  pekerjaan, pindah kota dan sebagainya  sebab pada waktu emosi, sulit  berpikir dengan tenang. Bagaimana  mengatakan itu kehendak Allah jika  tidak berpikir dengan akal sehat?  Sebab kehendak Allah tidak pernah  membuang akal sehat. Melampaui akal  sehat ya. Tetapi, melampaui berarti  sudah pakai akal sehat masih tidak  cukup. 
Selain  itu, menguasai diri juga  berarti, sebagaimana yang dilakukan Ayub,  menjaga bibirnya agar tidak  berdosa. Dalam ayat 15, si pemazmur sedang  berpikir, jika ia mengucapkan  kalimat kekecewaan maka ia akan  mengkhianati angkatan anak-anak Tuhan.  Lebih baik kita mendengar  perkataan dari Yakobus, janganlah cepat bicara  atau cepat marah tetapi  cepat mendengar supaya setelah masalah selesai  kita tidak menyesal  karena pernah mengucapkan kalimat yang tidak enak  (1:19). 
Menguasai  diri juga berarti menghitung konsekuensi. Ia  sedang menghitung  resiko-resiko kalau ia bicara demikian maka akan  mengkhianati angkatan  umat Tuhan. Pada waktu kita terjepit, kita diajar  untuk menguasai diri  sehingga menghitung resiko agar jangan salah  melangkah. Bagaimana pun   terjepit tetap harus menguasai diri untuk menghitung resiko. 
Bahkan  yang disebut menguasai diri  adalah setidaknya sampai ayat 16, Si  Pemazmur puas dengan kondisi  menggantung, belum ada jawaban, tetapi ia  tidak memaksakan diri untuk  mengambil jawaban sendiri sesuai dengan  keinginan sendiri. Sabar menanti  jawaban Tuhan, itulah penguasaan diri  orang percaya dalam pergumulan  penderitaan yang berat. 
Dalam  ayat 17 dikatakan bahwa ia  mendapatkan jawaban ketika masuk ke tempat  kudus. Konteks waktu itu  adalah bahwa firman Tuhan tidak didapatkan di  rumah melainkan dengan  berada di rumah ibadah. Ia masuk dan  memperhatikan. Perhatikan istilah “memperhatikan” dalam  ayat 17.  memperhatikan kesudahan orang fasik berarti ia berkonsentrasi  pada  waktu mendengar firman. Banyak orang percaya, sayangnya, pada waktu   mereka bergumul, mereka menjauhi firman baik menjauhi ibadah maupun   saat teduh. Akhirnya mereka tidak mendapatkan jawaban dan kondisinya   tambah buruk.
Memperhatikan  firman  Tuhan adalah jawaban mutlak dalam pergumulan penderitaan. Dalam  Daniel  9, dikatakan ia memperhatikan firman Tuhan melalui Yeremia.  Ayub dan  Habakuk juga mendapatkan jawaban dari firman Tuhan. Jika bukan  firman  Tuhan, apalagi jawaban bagi pergumulan kita? 
Si  Pemazmur mendapatkan jawaban  tentang kenikmatan orang fasik dan  penderitaan orang percaya adalah  ketika mendengar khotbah tentang  penghakiman. Lucu yah. Bagaimana bisa  orang lagi susah kok mendengar  firman tentang neraka? Psikologi sekuler  tidak bisa menerimanya.  Matthew Arnold mengatakan, kalau memperhatikan  kehidupan orang harus  utuh. Jangan lihat enaknya sekarang tetapi  lihatlah akhiratnya. Jadi,  kesimpulan Pemazmur bahwa orang fasik senang  selamanya, tidak  sepenuhnya benar. Itu kesimpulan emosionalnya. Yang  benar adalah bahwa  memang mereka kelihatan senang sekarang tetapi nanti  belum tentu. Kalau  kita melihat kehidupan orang benar yang senang  sekarang, jangan lupa  melihat masa lalunya, mungkin banyak penderitaan.  Kalau kita melihat  kehidupan orang fasik yang senang sekarang, jangan  lupa melihat masa  depannya, mungkin banyak penderitaan. 
Sampai  di sini, kita mendapatkan  pelajaran berharga. Yang disebut dengan  jawaban pergumulan itu bukan  perubahan keadaan. Nanti di ayat  selanjutnya juga kita lihat bahwa  keadaan si Pemazmur tidak dicatat  berubah. Dari tiga orang besar yang bergumul dengan  penderitaan, hanya  Ayub yang dicatat mengalami perubahan keadaan. Tetapi  itu terjadi  setelah ia mendapatkan jawaban firman yang merubah hidupnya  dan  membangun komitmen baru. Pemazmur dan Habakuk tidak mendapatkan   perubahan keadaan tetapi perubahan hidup melalui firman. Jadi, yang   disebut jawaban pergumulan bukan perubahan keadaan tetapi perubahan   hidup oleh firman yang diwujudkan dengan komitmen baru. Jangan bermimpi   perubahan keadaan karena itu bukan jawaban Alkitab. Namun demikian,   konsep ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari jalan keluar. Itu   hal lain yang tidak kita bicarakan di sini.   
Bagian  terakhir, akhir dari  pergumulan itu, si Pemazmur membangun komitmen  baru. Ada tiga komitmen  di sini. Komitmen pertama, tetap dekat dengan  Tuhan dalam penderitaan  (ayat 23-24). Komitmen dalam keadaan sulit  (ayat 21-22) bahkan ia merasa  diri dungu dan seperti hewan. Dekat  itulah baru ia mendapat kekuatan.  Jika ia lari dari Tuhan, di manakah  jawabannya? Banyak orang Kristen  waktu susah malah menjauh dari Tuhan  sehingga hidup mereka tambah parah.  Jika saudara menjauh, sekarang  kembalilah supaya Tuhan menjawab hidup  saudara! 
Dalam  komitmen pertama itu  kemudian kita melihat pertolongan Tuhan, persis  seperti menolong orang  yang pingsan. Dikatakan ”Engkau memegang tangan  kananku”. Kalau Alkitab  menyatakan bahwa Allah memegang kita dengan  tangan kananNya itu berarti  kekuatan (mis. Yes. 41:10). Kalau Alkitab  mengatakan Allah memegang  tangan kanan kita, itu berarti kenyamanan,  supaya tidak jatuh  tergeletak. Setelah itu, dituntun selangkah demi  selangkah menuju ke  tempat yang lebih baik secara kerohanian supaya ia  tidak tergelincir  (bdk. Ayat 2). 
Komitmen  yang kedua adalah tetap mengasihi Tuhan  sekalipun dalam penderitaan  (ayat 25-26). Kalau komitmen pertama adalah tetap dekat Tuhan  sekalipun  masih merasa tidak enak atau pusing maka yang kedua ini mulai   menikmati dan mengasihi Tuhan. Komitmen ketiga adalah selama-lamanya   berjalan bersama Allah. NIV menerjemahkan ”adalah baik bagi ku untuk   dekat dengan Allah”. Selama-lamanya, entah susah atau senang, entah   mendung, hujan atau cerah tetap berjalan bersama dengan Allah. Sehingga,   komitmennya adalah kasih dari hati terdalam kepada Allah, tidak   tergantung kondisi enak atau tidak.
Sampai  di sini, si Pemazmur menang.  Puji Tuhan. Ingin menang dalam  penderitaan? Jangan jauhi Tuhan dan  cintailah firman-Nya. Semoga!
   
Ev.  Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.  adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII)  Malang,  Ketua Sekolah Theologia Reformed Injili Malang (STRIM) dan  peneliti  pada Reformed Center for Religion and Society. Beliau  meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Reformed,  Jakarta
