MENJADI PEMIMPIN DENGAN KARAKTER LUHUR
Firman Allah menegaskan bahwa “….. orang yang berbudi luhur merancang hal-hal yang luhur, dan ia selalu bertindak demikian”  (Yesaya 32:8). Kebenaran yang dituangkan dalam nubuatan Yesaya ini  berbicara tentang pribadi yang berbudi luhur, yang berpikir luhur,  bersikap luhur dan bertindak luhur secara konsisten. Hal ini menerangkan  tentang seseorang pribadi yang luhur yang akan selalu menyatakan  keluhurannya sebagai karakteristik dirinya. Dalam kaitan ini dapat  dilihat bahwa seorang individu sesungguhnya memiliki kepribadian utuh  yang ditandakan dengan karakter 1yang  menjelaskan tentang karakteristik kepripadian individu dimaksud. Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa kepribadian diekspresikan melalui  karakter dan karakter yang dibangun di atas sejumlah faktor menunjukkan  kadar nilai dari kepribadian. Jadi apabila pemimpin memiliki karakter  yang disebut “berbudi luhur” maka pada tahap pertama, ia telah membangun  kepribadiannya di atas nilai yang luhur, dan dari nilai luhur ini, ia  mengekspresikan karakternya yang berkarakteristik “berbudi luhur”  dimaksud. Dalam upaya menejelaskan hubungan yang integral antara  pemimpin dan karakternya, maka tulisan ini akan membahas beberapa pokok  penting, yaitu antara lain., Satu, Seluk beluk karakter individu; Kedua,  Mengembangkan karakter yang luhur; yang diakhiri dengan suatu  rangkuman.
SELUK BELUK KARAKTER INDIVIDU
Telah  disinggung sebelumnya, bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan  kepribadian setiap individu. Substansi kepribadian setiap orang  memiliki ego (diri, hakikat diri), yang dibangun di attas temperamen yang  merupakan bawaan lahir. Ego memiliki (dimiliki) tubuh, jiwa, roh yang  menjadikan manusia sebagai manusia (yang hidup, yang bukan binatang),  dengan kesatuan psiko-somatik (jiwa/roh-tubuh) utuh tidak terpisahkan.  Ego yang dimotori oleh temperamen mempengaruhi pikiran (intelek/  kognisi), perasaan (emosi) dan kehendak (volisi) yang beroperasi secara  mekanis dan integral. Di sini jelas terlihat bahwa secara substatif,  manusia disebut manusia karena ia memiliki ego yang ada menyatu pada  tubuh/jiwa/roh, yang olehnya manusia adalah seorang pribadi dengan  kepribadian utuh. Ego diwarnai oleh temperamen yang merupakan bawaan  lahir, yang memberi pengaruh dasar awal terhadap pikiran, perasaan dan  kehendak setiap individu.  Kenyataan manusia seperi inilah yang  menjadikannya manusia pribadi, dengan kepribadian sepesifik.  Selanjutnya, perlu disadari bahwa “Kepribadian seseorang sangat  dipengaruhi oleh faktor genetika/ temperamen/ bawaan lahir, lingkungan,  dan pengalaman hidup individu.”2 Di  sini terlihat bahwa ada faktor kepribadian dan pengaruh kepribadian  yang tidak dapat diubah atau dipengaruhi, karena merupakan destini dari  setiap orang. Faktor-faktor dimaksud secara dominan mempengaruhi  kepribadian, tanpa dapat diubah, karena sifatnya yang tetap, namun hanya  dapat disikapi.3
Menghubungkan  kepribadian dengan karakter, perlu diawali dengan menegaskan bahwa ego  (ke-AKU-an) yang membentuk seseorang sebagai manusia pribadi adalah  bagian dari genetika dan bawaan lahir setiap orang yang menjadikan  kepribadian dengan temperamen yang permanen dan tidak berubah. Tatkala  seorang individu mengekspresikan dirinya, maka ia sedang menyatakan  karakteristik kepribadiannya yang dari padanya dapat terlihat karakter  khusus yang dimilikinya. Dari sisi ini terlihat faktor pengaruh terhadap  kepribadian setiap individu yang dialami, diperoleh dan dijalani dalam  lingkungan kehidupan di mana setiap orang berada dan dibesarkan. Dengan  demikian, dapat dikatakan bahwa kepribadian yang permanen itu ditandakan  dengan karakter khas yang dipengaruhi sejumlah faktor, yang menyebabkan  karakter memiliki sifat “dapat berubah.”4 Dengan  adanya sifat ini pada karakter, maka karakter setiap orang dapat  dikembangkan menjadi lebih baik dari apa yang ada padanya, karena  karakter adalah ekspresi dari kepribadian.5
MENGEMBANGKAN KARAKTER YANG LUHUR
Telah  diungkapkan bahwa karakter memiliki sifat khas “dapat berubah”  yang  olehnya karakter dapat dikembangkan menjadi positif atau dibiarkan untuk  dipengaruhi sehingga menjadi negatif.6 Dengan  demikian, dalam upaya mengembangkan “karakter menjadi luhur” maka ada  dua aspek yang akan disinggung, antara lain., Satu, Menata perkembangan  format diri; dan; Kedua, Pencitraan diri yang positif.
Menata perkembangan format diri
Dalam  upaya mengembangkan karakter luhur, setiap individu dan pemimpin  Kristen perlu manyadari dengan dalam bahwa menurut Alkitab, “semua orang  (manusia) telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23).  Kebenaran ini menegaskan bahwa secara natur, manusia adalah berdosa, dan  tidak memiliki kekuatan untuk mengembangkan diri menjadi luhur dalam  arti yang sebenarnya. Ini tidak berarti bahwa secara umum, manusia tidak  dapat “berpikir positif yang alami,” karena pada dasarnya, manusia  memiliki kebaikan umum, yang olehnya secara sosial manusia sejahat  apapun dia, pasti akan bersikap baik terhadap isteri, suami, atau  anak-nya. Namun, kebaikan seperti ini bernilai positif tidak penuh,  karena dosa, sehingga manusia sebaik apapun dia, ia akan membenci  musuhnya (ia tentu memiliki musuh) dan dimusuhi orang lain.7Hal  ini berarti secara umum, manusia dapat saja berbicara tentang berpikir  positif, tetapi dalam sifat yang tidak murni, karena dosa yang ada  padanya (Roma 6:23). Pada sisi lain, bagi orang Kristen, tatkala ia di  dalam Kristus, sesungguhnya ia telah menjadi “manusia baru” (II Korintus  5:17), dimana manusia lama (natur keberdosaan) telah diselesaikan TUHAN  (I Korintus 15:1-5), sehingga ia telah mengalami pembaruan hidup  (Kolose 3:5-11), menjadi “manusia baru” (ciptaan baru) dalam Kristus (II  Korintus 5:17). Dalam kaitan ini, tatkala orang Kristen hidup sesuai  dengan panggilannya dengan cara hidup “rendah hati, lemah lembut, sabar,  mengasihi, memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera” (Efesus  4:1-3) dan hidup dalam kasih serta menjauhkan diri dari perbuatan  kegelapan dan hidup sebagai anak-anak terang dengan arif sesuai kehendak  Allah (Efesus 5:1-18), dan memiliki belas kasihan dengan  sifat serta  kata-kata yang membangun (Kolose 3:12-17), kemudian “membangun  pikirannya di atas “apa yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap  didengar, dengan kebajikan dan tindakan yang patut dipuji” (Efesus 4:8),  maka ia telah “bersikap, berpikir, dan bertindak positif” dalam arti  yang sejati. Dengan berlandaskan kebenaran ini, orang Kristen dapat  mengembangkan diri kearah kedewasaan penuh (Efesus 4:13-16) yang  menandakan bahwa ia sedang berada dalam suatu proses perkembangan diri  yang formatif.8
Sebagai  seorang individu pemimpin, perkembangan seperti yang dijelaskan di  depan ini harus diupayakan sedemikian rupa, sehingga terfokus kepada  sasaran: “mejadi kompeten” denganintegritas-kredibilitas karakter tinggi (Formasi Rohani); kapasitaspengetahuan yang komprehensif dan khas lebih (Formasi Pelayanan) dan kapabilitas sosial  (kemampuan mengembangkan hubungan positif yang luas) dan teknis  (kecakapan memimpin dengan memanejemeni secara andal), yang berkembang  secara ajeg kearah kovergensi menjadi pemimpin tangguh.9 Seorang  individu pemimpin yang berkembang secara formatif seperti ini  menjelaskan bahwa ia sedang membangun karakternya yang dilandasi nilai  etika – moral agung (Roma 12:1-2; Mazmur 1; Yeremia 9:23-24; 17:7-8;  Yesaya 32:1-3,8, Daniel 12:3), yang memberikan kepadanya landasan kuat  untuk berbudi luhur. Perkembangan formatif ini ditandai oleh kemampuan  untuk mengendalikan diri dengan menjaga hati (Amsal 4:23), yang olehnya  dari dalam dirinya mengalir air hidup (Yohanes 7:38), sehingga orang  lain yang ada di sekitarnya diberkati TUHAN. Oleh pertolongan Roh Kudus,  ia sedang ada dalam “kemampuan tinggi” yang dinyatakan dengan  “keagungan hidup berlandaskan kasih, sukacita, damai sejahtera,  kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan  penguasaan diri” (Galatia 5:22-23’ I Korintus 13; Yohanes 13:34-35).  Cara hidup (lifeway) seperti ini menjelaskan bahwa orang Kristen/  pemimpin Kristen sedang hidup seperi Kristus TUHAN-nya (I Yohanes 2:6),  ia sedang membuktikan diri memiliki keluhuran budi (Yesaya 32:8) yang  ditanda-buktikan dengan memimpin banyak orang kepada kebenaran dan damai  sejahtera (Daniel 12:3; Yesaya 32:17; Yohanes 14:27). Dalam kaitan  dengan pengembangan diri menjadi pemimpin kompeten dengan keluhuran budi  seperti ini, setiap individu Kristen/ Pemimpin Kristen harus dengan  penuh kesadaran dan secara terencana membangun suatu strategi  “pengembangan diri” diawali dengan sikap siap menjadi pembelajar  sepanjang hidup yang terus menerus mengembangkan diri melalui belajar  secara introspektif (mengkaji pengaman hidup secara internal), retrospektif (mengkaji nilai pengalaman masa lalu bagi kehidupan sekarang)  dan belajar secara vikariat (vicarious  learning, yaitu belajar dengan menggunakan pemimpin Alkitab, pemimpn  historis yang telah berlalu dari sejarah, dan pemimpin kontempoter)  sebagai model pembelajaran. Dengan menata perkembangan diri seperti ini,  pemimpin sedang dan akan terus berkembang ke arah kepenuhan diri  menjadi kompeten, yang ditandai oleh kenyataan bahwa ia terus menghidupi  dirinya dengan karakter agung10 dimana  ia menjadi berkat kepada lebih banyak orang dari berbagai kalangan.  Pemenuhan format diri harus didukung oleh kesadaran bahwa sang pemimpin  sedang menghidupi karakter dan menjalankan kepemimpinannya dengan cara  hidup bijak.  Pada sisi lain kesadaran ini harus ditopang oleh penemuan  diri (secara subyektif) bahwa sang pemimpin sedang berkembang dan adanya  pengakuan dari oranglain (konfirmasi) bahwa pemimpin sedang menjadi  berkat bagi banyak orang. Sang pemimpin dalam kaitan ini tidak dapat  bertepuk sebelah tangan (membuat klaim secara sepihak) dengan mengatakan  bahwa “saya adalah kompeten dan sedang berkembang,” karena kompetensi  dan perkembangan diri seorang pemimpin harus dibuktikan dengan adanya  pengakuan dari orang lain secara positif bahwa ia sedang berkembang  dengan adanya bukti bahwa ia menjadi berkat kepada lebih banyak orang.  Pengakuan seperi ini harus disambut oleh pemimpin dengan mawas diri dan  berendah hati, agar ia tidak terjebak kepada keangkuhan dan menjadi  takabur.
Pencitraan diri yang positif
Kesadaran  diri pemimpin secara subyektif bahwa ia sedang berkembang hanya dapat  dipastikan melalui pencitraan dirinya. Pencitraan diri positif yang  sejati dibangun di atas kompetensi diri yang kuat, antara lain,karakter yang teguh, pengetahuan yang komprehensif dan khas lebih serta kecakapan sosial-teknis  yang andal. Pencitraan diri dalam kaitan ini adalah suatu sikap sadar  bertanggungjawab seorang individu dalam mengekspresikan dirinya yang  ditandai oleh pikiran, sikap, kata serta tindakan yang positif yang  mewarnai lingkungan pribadi serta kinerja dengan membangun orang lain  yang ada di sekirarnya dan membawa keuntungan bagi kepemimpinannya.  Pencitraan diri diwali dengan adanya integritas karakter  Kristen yang kuat, yang olehnya pemimpin yang membuktikan diri dengan  etika moral luhur, akan diakui sebagai kredibel. Pencitraan diri dari  sisi karakter ini di awali dari membangun self esteem (sikap  penghargaan obyektif terhadap diri) yang mengakui bahwa dirinya berharga  di mata TUHAN yang telah memilih dan menetapkannya menjadi seorang  pribadi dan seorang pemimpin (Yeremia 1:5). Sikap seperti ini meneguhkan  diri dengan kepercayaan yang teguh, yang melahirkan self confidence (rasa percaya diri) yang kuat sebagai pemimpin yang telah dipanggil TUHAN. Self esteem pada sisi lain akan meneguhkan self dignity (kewibawaan  diri), sehingga pemimpin dapat berdiri tegak menghadapi kepemimpinannya  yang ditandai oleh berbagai gelombang tantangan. Dengan sikap dasar  seperti ini, pemimpin dengan sendirinya ditopang untuk berpikir,  bersikap, berkata dan bertindak positif terhadap tugasnya (terstruktur  objektif) orang lain (konsiderat-altruistik) dan segala sesuatu yang  dihadapi (pragmatis-optmistik). Berdasarkan sikap seperti yang telah  disinggung di atas, pemimpin akan diteguhkan dengan jiwa positif (hidup benar, baik hati, tulus, jujur, adil, setia, arif) yang olehnya ia memiliki mentalitas positif (keteguhan, ketekunan, kesetiaan, kerajinan, keuletan) yang memberikan kepadanyagaya proaktif (asertif,  inovatif, antisipatif, partisipatif, adaptif) dalam menyikapi dan  menindaki segala sesuatu. Pencitraan diri dari sisi pengetahuan akan  terlihat pada kapasitas diri sebagai narasumber dengan  kemampuan intelektual cemerlang. Pada sisi ini, pemimpin telah membangun  dirinya dengan perangkat falsafah kehidupan yang lengkap, serta pengetahuan know how yang  membuatnya cerdas dengan kemampuan menanggapi segala sesuatu secara  cemerlang. Pecitraan diri dari segi kecakapan akan terlihat pada kapabilitas kinerja  dari sisi sosial, dimana pemimpin piawai dalam mengelola dan membangun  hubungan-hubungan dengan jejaringan yang luas pada segala aras., dan   mampu memanejemeni tanggungungjawab kepemimpinan secara efektif,  efisien, dan sehat yang produktif optimal.
Pada  tataran lain, pencitraan diri secara praksis hanya akan bernilai  positif apabila pemimpin secara bertanggungjawab menghidupi diri serta  kepemimpinannya sebegitu rupa sehingga ia menandakan adanya kualitas  karakter lebih. Karakter lebih ini pertama-tama ditandakan  dengan adanya  keagungan budi. Keagungan budi yang sejati dibangun di  atas kebenaran, kebaikan, keadilan, ketulusan, kesetiaan, ketekunan dan  ketahanan, yang menunjukkan adanya integritas dan kredibilitas  karakter. Kedua, karakter lebih ini ditunjang oleh adanya  komitmen tinggi kepada disiplin serta penguasan diri, kebijaksanaan dan  kearifan dalam membangun sikap terhadap orang lain, serta adanya  kesetiaan, keuletan dan ketekunan kerja berkualitas  (efektif-efisien-sehat-optimal) yang membawa keuntungan bagi diri, orang  yang dipimpin, dan organisasi serta masyarakat di mana kepemimpinannya  dijalankan.  Ketiga, karakter lebih ini ditandai dengan adanya  kearifan dalam melaksanakan upaya memimpin, dengan sikap terbuka,  konsiderat serta lugas terhadap orang yang dipimpin dan pekerjaan yang  dijalankan. Keempat, karakter lebih pada sisi lain, nampak pada  pencitraan diri yang baik dan benar yang diekspresikan melalui pikiran,  sikap, kata dan tindakan yang mengangkat dan meneguhkan, sehingga  dengan sendirinya akan berimbas kepada adanya pengakuan akan kualitas  diri lebih yang ada pada pemimpin. Pengakuan ini merupakan imbasan  berupa penghargaan obyektif tulus atas diri pemimpin sebagai refleksi  orang lain atas pencitraannya. Dari sisi inilah akan terbukti sejauh  mana pemimpin memiliki karakter yang luhur yang ditandai dengan adanya  pengakuan dan penghargaan yang diberikan kepadanya.
RANGKUMAN
Pemimpin  Kristen yang memiliki karakter luhur hanya ada karena anugerah Allah  yang telah menyelamatkannya, dan menjadikannya sebagai manusia baru (II  Korintus 5;17; Yesaya 32:1-2,8,17; Daniel 12:3). Manusia baru yang  adalah ciptaan Allah memberikan kepada pemimpin vitalitas yang  meneguhkannya untuk membangun diri ke arah kedesawaan sesuai dengan  rencana Allah. Secara khusus, keluhuran karakter pemimpin dibangun  diatas keluhuran budi, dengan komitmen kuat untuk taat dan setia kepada  TUHAN. Dari tataran praktis, keluhuran diri pemimpin akan tampak pada karakternya yang berintegritas tinggi(benar, baik, suci, adil, jujur, tulus, setia, tabah, tekun, tangguh, indah, mulia – Lihat Filipi 4:5,8), kapasitas pengetahuannya yang komprehensif(luas) dan khas lebih (pilihan unggulan); yang menempatkannya pada tataran atas dan lini depan dalam percaturan intelektualitas; sertakapabilitas sosial dan teknis yang  andal yang meneguhkan basis sosial berjejaring luas serta keandalan  memanejemeni secara strategis taktis tinggi, yang membawanya unggul  dalam pencapaian. Semua ini akan terwujud melalui pencitraan diri yang  berimbas kepada pengakuan positif dari banyak orang tentang keandalan  pemimpin, yang terbukti memilikikarakter yang luhur. Selamat menghidupi diri dengan karakter luhur.
