Sahabatku, saya pernah membaca suatu hal yang menarik tentang  perangkap. Suatu sistem yang unik, telah dipakai di hutan-hutan Afrika  untuk menangkap monyet yang ada disana. Sistem itu memungkinkan untuk  menangkap monyet dalam keadaan hidup, tak cedera, agar bisa dijadikan  hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.
 Caranya sangat manusiawi (hmm...atau mungkin hewani kali ye..hehehe).  Sang pemburu monyet, akan menggunakan sebuah toples berleher panjang dan  sempit, dan menanamnya di tanah. Toples kaca yang berat itu berisi  kacang, ditambah dengan aroma yang kuat dari bahan-bahan yang disukai  monyet-monyet Afrika. Mereka meletakkannya di sore hari, dan  mengikat/menanam toples itu erat-erat ke dalam tanah. Keesokan harinya,  mereka akan menemukan beberapa monyet yang terperangkap, dengan tangan  yang terjulur, dalam setiap botol yang dijadikan jebakan.
 Tentu, kita tahu mengapa ini terjadi. Monyet-monyet itu tak melepaskan  tangannya sebelum mendapatkan kacang-kacang yang menjadi jebakan. Mereka  tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples, lalu mengamati,  menjulurkan tangan, dan terjebak. Monyet itu, tak akan dapat terlepas  dari toples, sebelum ia melepaskan kacang yang di gengamnya. Selama ia  tetap mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula ia terjebak.  Toples itu terlalu berat untuk diangkat, sebab tertanam di tanah. Monyet  tak akan dapat pergi kemana-mana.
 ~Author Unknown~
 Sahabatku, kita mungkin tertawa dengan tingkah monyet itu. Kita bisa  jadi terbahak saat melihat kebodohan monyet yang terperangkap dalam  toples. Tapi, mungkin, sesungguhnya, kita sedang menertawakan diri kita  sendiri. Betapa sering, kita mengengam setiap permasalahan yang kita  miliki, layaknya monyet yang mengenggam kacang. Kita sering mendendam,  tak mudah memberikan maaf, tak mudah melepaskan
 maaf, memendam setiap amarah dalam dada, seakan tak mau melepaskan selamanya.
 Seringkali, kita, yang bodoh ini, membawa "toples-toples" itu kemana pun  kita pergi. Dengan beban yang berat, kita berusaha untuk terus  berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap dengan  persoalan pribadi yang kita alami.
 Sahabatku, bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang  lalu, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah lebih  menyenangkan, untuk memberikan maaf bagi setiap orang yang pernah  berbuat salah kepada kita? Karena, kita pun bisa jadi juga bisa berbuat  kesalahan yang sama. Bukankah lebih terasa nyaman, saat kita membagikan  setiap masalah kepada orang lain, kepada teman, agar di cari  penyelesaiannya, daripada terus dipendam?