Cerita, :Keluarga Semut"
huh  ... lelahnya aku seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak   habis-habisnya. Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi, sementara   kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu   yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku   bersentuhan dengan sejuknya lantai.
"aaauww ... brengsek!" gumamku
Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam.
"Kurang   ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini   seperti mau hancur? Apa ia juga tidak tahu kalau aku sedang   beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku.
Tapi,   belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "addduuhhh!"   Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang   digigitnya dan gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali makhluk   kecil ini," gerutuku kesal.
Ingin rasanya kulayangkan  tapak  tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai.  Namun  sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan  kepalan  tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali  tanganku yang  sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut',  kuurungkan niatku  untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang  komat-kamit seolah  mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak  mengerti apa yang  diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami  apa yang  diucapkannya.
"Hey makhluk besar, anda  menghalangi jalan saya!  Apa anda tidak lihat saya sedang membawa  makanan ini untuk keluarga saya  di rumah ..." Rupanya ia begitu marah  karena aku menghambat  perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku  menindihnya sehingga ia  harus terpaksa menggigitku.
Akhirnya  kupersilahkan ia melanjutkan  perjalanannya setelah sebelumnya aku  meminta maaf kepadanya. Susah  payah ia membawa sisa-sisa roti bekas  sarapanku pagi tadi yang belum  sempat kubersihkan dari meja makan.  Kadang oleng ke kanan kadang ke  kiri, sesekali ia berhenti meletakkan  barang bawaannya sekedar  mengumpulkan tenaganya sembari membasuh  peluhnya yang mulai membasahi  tubuh hitamnya.
Kuikuti  terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di  pojok mana ia tinggal dari  bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan  untuk membantunya  membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia  pasti menolaknya.  Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es  sebelah dapur. Di  depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan  bawaannya itu dan  kulihat seolah ia sedang memanggil-manggil semut-semut  di
dalam  lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima  semut-semut yang  tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan  itu berlarian  keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa  semut pertama  itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya
sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti,
menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan itu.
Hmmm   ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari   semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut   yang lebih kecil adalah anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah   istri di pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit.   "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku.
Semut   suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh  kasih  sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya  dengan penuh  senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu  yang selalu  memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka  dalam mensyukuri  nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak semut itu, subhanallah  ... Mereka begitu  pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah  mereka meski  sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri  yang membanggakan  dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya  bangga.
Astaghfirullah  ..., tiba-tiba tubuhku menggigil,  lemas seperti tiada daya dan brukkk  .... aku tersungkur. Kuciumi  jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut  itu hingga menetes beberapa  titik air mataku. Teringat semua di mataku  ribuan wajah semut-semut  yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati  berkalang lantai ketika  mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya  mengambil sisa-sisa  makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan  hak mereka atas rizki  yang aku terima.
Air mataku makin deras  mengalir  membasahi pipi, semakin terbayang tangisan-tangisan anak-anak  dan istri  semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka,  namun yang  mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok  jenazah.
Ya,  Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan  kepadaku tentang  perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri  yang harus  dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai  keluarga dan  dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri
nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.