Cerita, "Ayla"
(Sebuah Tulisan dari sahabat Irfan)
Ayla.  Nama yang indah untuk seorang gadis. Namun sayang, perlakuan yang   mereka terima, tidak setara dengan nama indah yang mereka sandang.   Karena memang, Ayla dalam kisah ini bukanlah sebuah nama bagi seorang   gadis. Tapi, Ayla, adalah julukan bagi sebuah profesi yang dinistakan.
Ayla,   atau Anak-anak Yang di Lacurkan, adalah komunitas kecil anak-anak  gadis  yang tinggal di temaram lampu-lampu taman. Usia mereka masih  sangat  muda, berkisar antara 11 hingga 18 tahun. Mereka hadir, dan  terpaksa  tinggal di jalan, menjajakan diri, mendapat perlakuan kasar,  dengan  imbalan yang tak setimpal.
Dengan modal ember,  yang diisi  beberapa minuman ringan dan rokok, mereka dipaksa untuk  mencari tamu.  Mereka berdiri berjejer di pinggir jalan, atau menunggu  dalam  tenda-tenda kecil di pojok taman. Setiap orang boleh menyentuh  mereka,  asalkan mau membeli minuman yang mereka jual. Mereka tak bisa  menolak  untuk di raba dan dipegang, karena tuntutan setoran yang harus  dipenuhi.  Bahkan tak jarang, anak-anak yang masih belia itu, terpaksa  melacurkan  diri untuk mendapatkan uang lebih banyak.
Suatu  ketika, ada  seorang anak yang kami temui dalam sebuah penelitian. Dia  masih amat  belia. Sebut saja namanya, Isah. Mungkin, usianya baru 15  tahun. Dia  kami temui di sebuah taman di bilangan Prumpung, Jakarta.
Kami,   yang datang sebanyak 3 orang, mulai terlibat obrolan yang  menyenangkan.  Kami bertanya tentang apa yang dirasakan anak gadis ini.  Dia pun  bercerita tentang pengalaman pahitnya di jalanan. Kami juga  bertanya apa  yang menjadi harapan dan angan-angannya kelak, dan  menawarkan bantuan  agar dia terbebas dari tempat semacam ini. Dia  tersenyum, dan menawarkan  minuman ringan dagangannya.
Tak  terasa, sudah banyak sekali yang  disampaikan gadis ini. Harapannya tak  banyak, angan-angannya tak  muluk-muluk. Dia tampak senang sekali, saat  mengetahui, kami datang  untuk menanyakan kabarnya. Dia tampak bahagia,  dan berharap kami datang  sering datang untuk mendengar kisahnya. Ya,  kami kembali tersenyum, dan  berjanji untuk mau menjadi sahabatnya.
Sayang,  kami harus  kembali, kemudian, salah seorang teman bertanya, "Isah,  kami harus bayar  berapa untuk minuman ini? Dia hanya diam. Namun,  tiba-tiba wajahnya  memerah. Matanya berkaca-kaca. Sambil di pegangnya  botol-botol itu, dia  menatap kami satu-persatu. Nanar. Dia mulai  menangis. Kami mulai  bingung. Wajahnya menunduk, airmatanya berlinang.
"Mas,  dan Mbak  semua jahat. Mas bukan teman Isah. Nggak ada bedanya sama  orang-orang  itu!" "Isah ikhlas kasih itu buat Mas, nggak minta  bayaran!" Kenapa Mas  anggap Isah jualan buat gituan...?", ucapnya  lirih, menahan tangis.  Rupanya, dia merasa tersinggung, karena kami  menganggap minuman itu sama  dengan jasa yang dia berikan. Akhirnya kami  bertiga berusaha  menenangkannya dan meminta maaf. Dia bisa memahami  setelah menjelaskan  sikap kami. Dia pun kembali tersenyum.
~~~
Sahabatku,   begitulah, harga diri, kehormatan yang dimiliki Isah, tetap tak  bernilai  di dalam dirinya. Ia, walaupun terpojok dengan profesi yang  harus di  jalaninya, tetap memiliki kebanggaan diri sebagai manusia,  yang tak mau  di lecehkan. Tekadnya tetap kuat, perasaannya tetap murni,  bahwa tiap  orang, tak pantas untuk dilecehkan, tak pantas untuk  mendapat perlakuan  tak setara.
Adakah kebanggaan diri itu terpatri dalam diri kita?
Begitulah,   saat ini, saya merasa beruntung sekali, melewatkan malam ulang tahun   saya, bersama mereka, Ayla. Kebetulan, pada malam ini pula, mereka   mementaskan teater musik, yang berkisah tentang dunia yang mereka   jalani. Sebuah teater yang menarik, dengan semua pemain yang terdiri   dari para Ayla. Walaupun mereka bercerita, pada saat latihan, sering   harus terhenti, karena ada yang menangis saat memainkan peran-peran itu.
Ya,   saya bersyukur sekali kepada Allah, dapat menghabiskan malam ini   bersama mereka. Menjadi teman bagi mereka, menjadi telinga bagi mereka.   Saya senang sekali dapat menjadi orang yang mereka percayai, orang yang   mereka anggap sahabat, pelindung, dan menjadi tempat untuk bercerita.   Ada banyak hikmah dan pelajaran yang saya dapat dari mereka, dan hal   itu, membuat saya semakin lengkap menjadi manusia.