Siapakah yang terbesar diantara kita?

Markus 10:35-37
sangat menarik menyaksikan bahwa Yohanes dan Yakobus ingin memiliki cita-cita yang luhur . Mereka datang kepada Tuhan Yesus dengan mengajukan suatu permohonan: "Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu"
Pengaruh kehadiran Kristus yang membuka ruang pemberdayaan diri ternyata disikapi oleh Yohanes dan Yakobus agar mereka dapat duduk dalam pemerintahan Kristus. Mereka menghendaki agar dapat duduk di sebelah kanan dan kiri saat Tuhan Yesus kelak berkuasa dalam kemuliaanNya. Mereka ingin memanfaatkan hubungan dan posisi sebagai seorang murid yang dekat dengan Tuhan Yesus. Jadi walaupun Kristus telah memberi perubahan dan makna hidup, mereka masih menginginkan hal yang lain yaitu memerintah bersama Kristus dalam kemuliaanNya.

Harapan ini dilatar-belakangi oleh konsep Mesianis umat Israel. Sebab umat Israel menganggap relasi dengan seorang Mesias akan membawa mereka kepada kemuliaan dan kekuasaan ilahi. Tokoh Mesias dalam pemahaman umat Israel selain mampu membawa kejayaan politis dengan tangan besi penjajahan Romawi, juga bertujuan untuk membawa umat Israel menikmati kemuliaan di surga. Sehingga konsep “menjadi yg terbesar” dalam pemahaman tersebut adalah bilamana seseorang berhasil menduduki suatu kekuasaan yang pada masa kini maupun pada masa mendantang.


Apakah harapan dan cita-cita tersebut sesuatu yang salah?
Kita sering beranggapan bahwa tidaklah layak untuk mencita-citakan kekuasaan atau kemuliaan pada masa kini dan masa mendatang. Kita menganggap lebih saleh bilamana kehidupan tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Tetapi faktanya kehidupan ini justru sering sarat untuk menguasai dan mengendalikan orang lain.
Dalam membahas masalah kekuasaan, kita sering bersikap munafik. Secara teoritis dan konseptual teologis kita sering menolaknya tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita justru secara intensif mempraktekkannya. Padahal keinginan Yakobus dan Yohanes untuk berkuasa dalam pemerintahan Kristus pada hakikatnya sesuatu yang wajar karena mereka mempercayai Yesus selaku Mesias yang dijanjikan Allah.
Tetapi yang terpenting adalah bagaimanakah cara mereka memperoleh kedudukan dan kekuasaan dalam pemerintahan Kristus tersebut?
Apakah kita akan menempuh untuk memperoleh kekuasaan dan kemuliaan dalam pemerintahan Mesianis secara duniawi?




Hidup Yang Bermakna


Markus 10:41 Para murid Yesus menunjukkan reaksi marah terhadap permintaan Yohanes dan Yakobus. Tampaknya para murid Yesus tidak menyukai keinginan Yohanes dan Yakobus yang memohon agar mereka dapat duduk di sebelah kanan dan kiri dalam pemerintahan Tuhan Yesus. Sikap kemarahan para murid Yesus dapat berarti bahwa mereka tidak menyukai ambisi dari Yohanes dan Yakobus. Tetapi juga kemarahan para murid Yesus dapat berarti pula ekspresi dari sikap iri-hati sebab mereka tahu bahwa Yohanes dan Yakobus berada dalam relasi yang sangat dekat dengan Tuhan Yesus. Sehingga para murid Yesus yang lain tidak suka dengan keinginan atau harapan dari Yohanes dan Yakobus tersebut.
Untuk menyikapi keadaan, Tuhan Yesus berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mark. 10:42-43).
Inti pengajaran Tuhan Yesus tersebut adalah seseorang akan menjadi besar, jikalau dia memiliki spiritualitas yang selalu melayani. Kebesaran atau keagungan seseorang tidaklah mungkin dapat diraih dengan kekerasan, sikap arogansi dan sewenang-wenang. Sebab kebesaran diri seseorang lebih ditentukan oleh keagungan budi yang ditampilkan dengan sikap hidup yang sederhana. Semakin seseorang dapat hidup sederhana, semakin dia dimampukan pula untuk menghayati kehidupan yang kaya dengan keagungan budi. Sebaliknya semakin spiritualitas seseorang serba berlebihan, demonstratif dan unjuk kekuasaan; semakin menunjukkan dia memiliki budi dan martabat yang rendah. Dengan demikian makna “kebesaran” atau keagungan dalam pengajaran Kristus bersifat paradoks, yaitu semakin seseorang merendahkan diri maka semakin tinggi martabatnya. Sebaliknya semakin seseorang meninggikan diri dan menunjukkan kuasanya, maka dia semakin memperlihatkan martabat yang rendah dan inferior.

Ciri dari karakter “orang-orang besar” adalah:
a.Selalu konsisten untuk menyembunyikan seluruh atribut kebesarannya dengan mengedepankan pengabdian yang selalu merendah dan tidak mencari muka. Karena itu setiap orang besar selalu mengutamakan peran dan kerja keras yang tanpa pamrih.

b.Selalu mampu untuk mencegah untuk membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi atau penonjolan diri. Di dalam spiritualitas mereka umumnya selalu terlatih untuk mencegah atau mampu mengeliminasi setiap hal yang membuka kepada pemuliaan atau pujian terhadap diri sendiri. Karena mereka sadar bahwa setiap kecenderungan dan tindakan yang mempermuliakan diri pada akhirnya akan menuai reaksi berupa penghinaan terhadap diri sendiri. Mereka juga sadar bahwa pemuliaan terhadap martabat sesama hanya akan dicapai melalui kasih, bukan dengan sikap yang egoisme.
Prisip yg ditegaskan:
Semakin sikap kasih dinyatakan dengan tindakan yang merendahkan diri, kita dimampukan untuk menemukan mutiara yang tersembunyi di dalam diri setiap sesama.
Semakin kita meninggikan diri, maka semakin sulit bagi kita untuk menemukan mutiara dalam diri sesama tersebut. Itu sebabnya saat kita meninggikan diri umumnya kita hanya melihat begitu banyak “kotoran” atau berbagai hal yang sangat buruk dalam diri sesama. Sebagai akibatnya adalah kita akan selalu merasa diri selalu lebih benar dan baik dari pada sesama kita. Atau kita merasa diri lebih mulia dari pada orang lain.
Kita sering terjebak dalam kompleksitas perasaan yang menganggap diri serba kaya dan tinggi, padahal rohani kita sebenarnya sangat miskin dan dangkal. Spiritualitas yang merasa diri serba kaya dan tinggi justru akan semakin menjauhkan diri kita dari pemaknaan hidup yang transformatif.
Tetapi tidaklah demikian sikap Tuhan Yesus. Dia memilih sikap pengosongan diri walaupun Kristus memiliki hak untuk meninggikan diri. Sehingga sangatlah tepat rasul Paulus menguraikan rahasia inti dari kristologi diri Tuhan Yesus, yaitu: “Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil. 2:6-7).

Pratek hidup menjadi yg Terbesar

Kini sikap dan spiritualitas untuk melayani sebagaimana yang diajarkan Tuhan Yesus telah dipraktekkan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk di dalamnya bidang bisnis, managemen, pendidikan, sosial-budaya dan politik. Jika demikian makna “melayani” bukan lagi khas kehidupan iman Kristen. Arti dan spirit dari makna “melayani” pada masa kini telah diambil oleh dunia untuk mengekspresikan perannya. Sehingga tinggal satu pengertian yang belum diambil oleh dunia yaitu tindakan memberikan nyawa.
Markus. 10:45, Tuhan Yesus berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Apabila kita memahami makna perkataan Tuhan Yesus tersebut dengan jernih, maka kita akan melihat bahwa pengertian dan tindakan melayani selalu terkait dengan tindakan Kristus untuk memberikan nyawa bagi orang lain. Tindakan Kristus yang melayani diekspresikan dengan kerelaanNya memberikan nyawa sebagai tebusan. Tetapi dunia telah memisahkan tindakan untuk melayani dengan kerelaan Kristus untuk memberikan nyawa.


Tindakan Kristus yang melayani dan memberikan nyawa dipahami oleh surat Ibrani sebagai tindakan Kristus yang menjadi Imam Besar. Kristus menjadi satu-satunya pribadi yang layak menjadi seorang Imam Besar bagi umat manusia karena Dia adalah Anak Allah (Ibr. 5-6). Sehingga peran Kristus sebagai Imam Besar dilakukan dengan pengabdian dan kasih seorang anak, yaitu taat kepada Allah BapaNya. Surat Ibrani berkata: “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah dideritaNya” (Ibr. 5:8).

Jadi tidaklah cukup bagi “orang-orang besar” hanya karena mereka memberikan pelayanan kepada sesamanya, tetapi mereka secara faktual tidak mau menderita dan memberikan nyawanya. Seseorang akan menjadi besar di hadapan Allah dan sesamanya jikalau dia memberikan pelayanan yang lahir dari ketaatan dan kasih seorang anak kepada Allah Bapanya. Namun selama pelayanan hanya dikaitkan untuk kepentingan komersial atau bisnis belaka, maka makna pelayanan tersebut tidak memiliki arti apapun. Makna pelayanan yang baik bukan agar bisnis kita untung banyak atau karier kita menanjak.


Sebab pelayanan Kristus sebagai Imam Besar bertujuan untuk memulihkan dan mendamaikan hubungan Allah dan manusia yang telah dirusak oleh dosa. Jika demikian bukankah seharusnya makna menjadi “orang besar” bukan sekedar seseorang mampu melayani sesamanya, tetapi apakah pelayanan yang diberikannya itu merupakan wujud dari pelayanan yang mampu mendamaikan dan memulihkan setiap hubungan yang retak. Makna pelayanan dalam iman Kristen senantiasa memiliki karakter kesediaan diri untuk berkorban bagi orang lain agar sesama dapat mengalami pembaharuan kehidupan. Makna pelayanan dengan nilai-nilai iman Kristen tidak pernah terlepas dari transformasi kehidupan.

Dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluarga dan jemaat, kita sering mengartikan dan menerapkan makna pelayanan dalam pengertian yang sangat sempit. Pelayanan diartikan hanya pergi ke gereja secara rutin atau ambil bagian dalam suatu bidang pelayanan gerejawi tertentu. Padahal pengertian dan penerapan pelayanan tersebut sama sekali tidak memberikan dampak yang lebih luas.
Kita tidak pernah menjadi besar di hadapan Allah dan sesama apabila hanya menghayati makna pelayanan sekedar sebagai upaya pemenuhan kebutuhan religiusitas kita. Padahal pelayanan yang dilakukan oleh Kristus bertujuan untuk mentransformasikan kehidupan manusia sehingga mereka mengalami pemulihan dan pendamaian dengan Allah. Jadi seharusnya pelayanan yang kita lakukan bertujuan untuk mengangkat martabat manusia yang telah dicemarkan oleh kuasa dosa sehingga sesama dapat hidup bebas sebagai anak-anak Allah. Pelayanan kita seharusnya menjadi media penghubung sehingga sesama dapat berjumpa dengan Kristus selaku Juru-selamatnya.


Setiap umat percaya terpanggil untuk membesarkan dan mempermuliakan Kristus. Sebab Dialah pusat dan tujuan hidup kita. Sehingga di dalam hati umat percaya tidak ada tokoh yang lebih besar dari pada diri Kristus. KeagunganNya melampaui keperkasaan setiap pahlawan dan para tokoh sejarah. Karena itu sejarah umat manusia akan berjalan ke arah keselamatan dan kebenaran jikalau menempatkan Kristus sebagai satu-satunya landasan dan tujuan hidup. Dengan demikian, sikap umat percaya seharusnya seperti sikap Yohanes Pembaptis yang berkata: “Ia harus bertambah besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).

Jadi tindakan mencari orang besar adalah tidak lain menemukan jejak kehadiran Kristus di tengah-tengah orang-orang yang hidupnya sederhana namun tulus dan kaya dengan pengabdian. Sebab Kristus tidak pernah menghadirkan diriNya di tengah-tengah orang-orang yang hidup dengan sikap yang arogan dan bermain kuasa.
Yesaya. 53:3-4 berkata tentang sosok Mesias yaitu Tuhan Yesus: “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah”.

Jika Kristus hadir dalam setiap penderitaan yang membebaskan setiap orang-orang yang tertindas, maka sosok orang-orang besar adalah para ibu yang merelakan dirinya berkurban agar anak-anaknya berhasil. Atau orang-orang yang mempersembahkan seluruh kekayaan dan harta-miliknya untuk kesejahteraan banyak orang. Juga orang-orang yang memperjuangkan nasib sesamanya sehingga mereka kehilangan kebebasan dan masa depan karena mengalami penganiayaan dari para penguasa. Mereka semua adalah orang-orang besar yang hidupnya tersembunyi tetapi menghasilkan berkat yang nyata. Bagaimana dengan kehidupan saudara? Amin.