Mempercayai Raja yg bermahkota duri

Memuliakan Allah sebagai Raja dalam situasi yang membahagiakan dan kesuksesan bukanlah perkara sulit untuk dikerjakan! Puji Tuhan, Helleluya..saat berada dalam situasi makmur adalah hal yg lumrah. Tetapi bagaimana sikap kita manakala berada dalam situasi yang sangat buruk, pahit dan menyedihkan bahkan tidak alasan yg secara phisik dan material yg menguntungkan kita? Apakah kita tetap memuliakan dan mengasihi Kristus sebagai Raja di saat kita sakit, gagal dalam usaha dan kehilangan orang yang kita kasihi, menyedihkan dan pergumulan hidup ?
Luk. 23:33 - 43

Deklarasi Kristus sebagai Raja
justru ditampilkan saat Dia dalam peristiwa penyaliban di bukit Golgota.

Ada beberapa pengakuan berkaitan Yesus sebagai raja:

a. Pengakuan resmi walaupun dengan nada yang mengejek dari pemerintah Romawi kepada Tuhan Yesus sehingga di atas kayu salibNya tertulis: “Inilah raja orang Yahudi”.

b. Pengakuan seorang penjahat yang menaruh percaya kepada Tuhan Yesus, sehingga dia berkata menjelang ajalnya: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja”.

c. Kepala pasukan Romawi kemudian membuat suatu pernyataan yang mengejutkan saat Tuhan Yesus wafat, yaitu: “Sungguh, orang ini adalah orang benar” (Luk. 23:47). Kepala pasukan mengaku kebenaran Kristus.
Definisi Raja Dalam Tradisi Romawi
Dalam tradisi Romawi, gelar seorang Raja hanya dapat diberikan kepada seorang jenderal yang berhasil membawa kemenangan gemilang dari suatu peperangan hebat. Jadi ketika jenderal Romawi yang berhasil membawa kemenangan tersebut kembali pulang ke kota Roma, dia akan mendapat suatu sambutan yang sangat meriah dari rakyat Romawi dan kemudian dia mendapat sebuah gelar sebagai “emperor”. Pada waktu Yulius Caecar berkuasa, dia tidak hanya memposisikan dirinya sebagai seorang jenderal yang berhasil membawa kemenangan; tetapi dia juga memposisikan dirinya sebagai penguasa mutlak atas kerajaan Roma.
Jadi pengertian “raja” dalam konteks zaman Tuhan Yesus hanya dipakai untuk menunjuk kepada seorang yang berhasil membawa kemenangan gemilang setelah melewati suatu pertempuran hebat, dan kemudian dia dinobatkan menjadi seorang penguasa mutlak.

Lalu apa motif utama tulisan dari Pontius Pilatus di atas kayu salib Tuhan Yesus yang menyatakan diriNya, yaitu: “Inilah raja orang Yahudi”?
Jelas tulisan dari Pontius Pilatus itu sama sekali tidak menunjuk suatu pengakuan yang tulus bahwa Yesus adalah raja orang Yahudi. Sesungguhnya tulisan di atas kayu salib itu bermuatan ejekan (satire) atau suatu bentuk hinaan pemerintah Romawi untuk mempermalukan Tuhan Yesus serta orang-orang Yahudi, yang nadanya kira-kira bermaksud: “Masakan raja orang Yahudi seperti ini? Di manakah kehebatan dan kemenanganNya? Di manakah kuasaNya? Masakan raja orang Yahudi tersebut harus mati tergantung di atas kayu salib dengan cara yang hina?” dan Secara politis, pemerintah Romawi menggunakan peristiwa penyaliban Tuhan Yesus sebagai suatu “shock therapy” kepada umat Israel yang dijajahnya.
Realita Penobatan Kristus Sebagai Raja di Kayu Salib

Hanya seorang jenderal Romawi yg berhasil memenangkan suatu pertempuran besar, yg akan disambut secara meriah dan akan dielu-elukan oleh seluruh rakyat.
Tetapi kini Yesus sebagai raja orang Yahudi ditonton orang banyak bukan dengan sorak-sorai kemenangan, tetapi dengan nada ejekan dan penghinaan sebab Dia tersalib sebagai seorang penjahat. Bukankah gambaran tentang raja dalam konsep orang Romawi dan sebutan Yesus sebagai raja orang Yahudi di atas kayu salibNya begitu kontras?
Di atas bukit tengkorak yaitu Golgota, Tuhan Yesus telah dinobatkan oleh pemerintah Romawi menjadi raja di atas takhtaNya, yaitu kayu salib.
Di bukit Golgota, kayu salib dijadikan takhta bagi Kristus. Mahkota kemuliaan Kristus sebagai raja tidaklah mengenakan mahkota tatahan emas permata yang indah, melainkan jalinan mahkota duri.
Pada saat yang bersamaan penobatan Kristus sebagai raja juga disertai dengan tangan dan kaki yang terpaku di atas kayu salib. Sangatlah berbeda dengan jenderal Romawi yang berhasil pulang dengan gemilang dari pertempuran, sebab kini Yesus menjadi raja yang tidak berdaya, lemah dan sekarat sebab kaki dan tanganNya menjadi satu dengan kayu salib.
Lebih tragis lagi, ternyata “mereka yg baru saja mengelu-eleukan berbalik mengolok-olok: “Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diriNya sendiri, jika Ia adalah Messias, orang yang dipilih Allah” (Luk. 23:35).

Mempercayai Raja Dengan Mata Iman
Seorang penjahat di kanan Tuhan Yesus tidak mengejek, sebaliknya dia tiba kepada suatu kesadaran yang menampakkan sikap iman kepada Tuhan Yesus. Karena itu ia berani menegur sikap temannya itu: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah”.
Saat mendekati ajal dia menyadari perlunya sikap takut kepada Allah. Penjahat tersebut juga menerima kematiannya sebagai balasan atas perbuatan dan kesalahannya. Selain itu dia percaya kepada Tuhan Yesus selaku Mesias, yang suatu kelak akan datang sebagai Raja yang menghakimi. Itu sebabnya dia memohon kepada Tuhan Yesus: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja”.
Pengakuan imannya bahwa Yesus adalah Raja yang akan datang untuk menghakimi umat manusia meluncur dari lubuk hatinya yang hancur dengan mengingat secara sadar akan kesalahan dan dosa yang pernah dibuat selama hidupnya.
Jadi pengakuan penjahat di sebelah kanan bahwa Yesus adalah Raja pada hakikatnya merupakan suatu pengakuan dan permohonan agar Tuhan Yesus berkenan mau mengasihani dan mengampuni dia, sehingga dia dapat diselamatkan oleh anugerahNya. Ternyata pengakuan iman dan harapannya tersebut diterima oleh Tuhan Yesus, sehingga Tuhan Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23:43). Dengan pernyataan ini Injil Lukas “membuktikan” bahwa Yesus adalah Raja dalam kerajaan Allah, sehingga Dia dapat menganugerahkan pengampunan dan jaminan keselamatan yang pasti kepada seorang berdosa untuk masuk ke dalam Firdaus.

Gelar atau jabatan Tuhan Yesus sebagai Raja dalam perspektif tradisi kerajaan Romawi dilatar-belakangi oleh suatu sikap yang mengejek dan menghina.
Namun ejekan yang tertuang dalam tulisan: “Inilah raja orang Yahudi” berubah menjadi suatu respon iman saat Tuhan Yesus wafat.
a.Kepala pasukan Romawi kemudian membuat suatu pernyataan yang mengejutkan saat Tuhan Yesus wafat, yaitu: “Sungguh, orang ini adalah orang benar” (Luk. 23:47). Kepala pasukan mengaku kebenaran Kristus,
b. Seorang penjahat yang mendekati ajal mengakui Tuhan Yesus sebagai raja. Jadi semua pihak dalam kisah Injil Lukas secara perlahan akhirnya tiba kepada suatu kesimpulan dan pengakuan iman, yaitu bahwa Yesus adalah Raja yang memiliki kuasa untuk mengampuni. Mereka mengakui bahwa Tuhan Yesus memiliki rahmat Ilahi untuk memberi keselamatan kekal kepada setiap orang yang percaya.

Bukankah sikap pengakuan iman dari penjahat di sebelah salib Kristus dan kepala pasukan bangsa Romawi tersebut sungguh ajaib? Mereka mengakui Yesus sebagai Raja dan orang benar justru ketika mereka melihat secara langsung penderitaanNya yang sangat hina dan kematianNya yang tragis. Mereka tidak terpengaruh oleh pemahaman dan tradisi bangsa Romawi, yang memberikan sambutan yang meriah dan gelar kehormatan raja kepada seorang jenderal yang berhasil menang perang. Dengan mata iman, kepala pasukan Romawi melihat kemuliaan Kristus di saat Dia menghadapi kematian yang begitu hina.

Perhatikanlah bahwa penjahat di sebelah salib Kristus mengakui Tuhan Yesus sebagai Raja justru pada saat dia dan Kristus sama-sama mengalami penderitaan dan sekarat maut.
Sedang kepala pasukan Romawi mengucapkan pengakuan bahwa Yesus sebagai orang benar: “Inilah raja orang Yahudi” justru ketika dia melihat kematian Tuhan Yesus tersebut telah menggetarkan alam.
Nyatalah bahwa penjahat di sebelah salib Kristus dan kepala pasukan Romawi itu memiliki pengakuan iman yang melampaui keterbatasan jasmaniah. Iman mereka tumbuh mampu menembus batas-batas realitas yang pahit, buruk, tragis dan sangat menyedihkan. Itu sebabnya mereka mampu melihat cahaya kemuliaan dan kekuasaan Tuhan Yesus sebagai Raja justru ketika Tuhan Yesus berada dalam situasi yang paling hina dan batas akhir kehidupan dianggap paling tragis.

Menjadikan Kristus Raja di Saat Kelam


Jika demikian, setiap orang harus belajar dari sikap iman penjahat yang berada di sebelah salib Kristus dan juga sikap iman kepala pasukan Romawi yang mana pada akhirnya mereka dapat percaya kepada Kristus.
Kita perlu terus belajar menemukan rahasia iman kepada Kristus yang adalah Raja justru ketika kita berada dalam situasi yang paling buruk, gagal, sangat menyedihkan dan tragis. Karena ketika kita berada dalam situasi yang buruk seperti sakit yang tidak tersembuhkan, kegagalan dalam usaha, bangkrut, difitnah sehingga karier dan nama baik kita menjadi runtuh, dikhianati oleh orang-orang yang kita percayai, kehilangan orang-orang yang kita sayangi, dan berbagai musibah lain kita cenderung melihat realita kehidupan ini serba gelap, kelam, dan kejam.
Pada saat yang demikian kita sering merasa ditinggalkan oleh Allah dan orang-orang di sekitar, kita sama sekali tidak melihat “titik terang” kemuliaan Kristus sebagai Raja dan Juru-selamat dalam kehidupan.

Namun ketika kita berada dalam situasi “batas akhir” dengan sikap marah, kecewa dan mencela Tuhan; kita akan semakin berada dalam kegelapan yang makin pekat. Penderitaan dan rasa putus-asa kita makin menjadi-jadi. Sikap tersebut terjadi karena kita merasa menderita dan gagal seorang diri!
Sebaliknya mata iman dan rohani kita akan terbuka dengan terang; ketika sedang menderita, bersedia melihat pribadi Kristus yang juga menderita bersama dengan kita. Arah pandangan mata kita tidak lagi tertuju kepada penderitaan dan rasa sakit serta kegagalan kita sendiri; tetapi mau menengok dan melihat wajah Kristus yang tetap teduh dan menyinarkan cahaya kasihNya. Dari dalam kegelapan penderitaan, kita dapat melihat kemuliaanNya sebagai Raja yang mau menderita dan menjadi sahabat yang sangat mengasihi kita lebih dari siapapun di dunia ini. Amin